Analisa UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum
Diberlakukannya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum pada tahun 2010 lalu merupakan terobosan yang dilakukan untuk menekan angka pelanggaran lalu lintas di Indonesia. Keberadaan Undang-undang tersebut memungkinkan masyarakat takut untuk melakukan pelanggaran lalu lintas, hal ini dikarenakan di dalam Undang-undang tersebut memuat sanksi denda yang mahal dan juga berat bagi pelanggarnya.
Contohnya saja jika tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) misalnya, kita bisa didenda hingga Rp 1 juta. Penetapan denda itu didasarkan Pasal 281 yang mengatakan bahwa setiap pengendara kendaraan bermotor yang tidak memiliki SIM dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 1 juta.
Yang menjadi permasalahan baru dan menarik disini adalah apakah dengan diberlakukannya Undang-undang tersebut dapat menekan angka pelanggaran lalu lintas jalan, ataukah justru akan membuat semakin maraknya praktek peradilan ditempat oleh aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah Polisi Lalu Lintas. Jika demikian praktek adanya pembayaran uang damai dari si Pelanggar kepada Polisi (Suap) justru akan sangat sering terjadi, hal tersebut dikarenakan si Pelanggar berfikir alangkah lebih baik membayar uang damai yang besarnya bisa ditawar daripada harus menjalani proses persidangan yang sudah tentu akan memakan waktu dan prosedur yang bertele-tele dan denda yang dikenakan kepadanya tentunya juga besar. Memang problematika ini tidak terlepas dari masalah ekonomi dimana Pelanggar tidak mau jika harus merogoh kocek lebih besar dan Polisi dalam hal ini beranggapan bahwa tunjangan yang diberikan kepadanya masih kurang sesuai sehingga jalan ini merupakan jalan yang dianggap benar untuk mencukupi tunjangan tersebut.
Dari permasalah tersebut alangkah bijaknya apabila penguatan terhadap Undang-undang lalu lintas itu juga menekankan adanya keseimbangan pengaturan antara yang di atur dan yang mengatur, dalam hal ini adalah pengendara dengan Polisi agar efektifitas dari Undang-undang tersebut dapat dirasakan. Karena sebagus apapun produk Undang-undang yang dibuat akan tidak ada artinya apabila aparat yang menegakkan hukum itu sendiri bobrok. Bukanlah sebuah rahasia umum lagi di masyarakat mengenai tindakan Polisi ketika melakukan penilangan. Polisi dengan terang-terangan menawarkan apakah mau diproses sesuai prosedur atau mau jalan damai. Secara spontan Pengendara akan lebih memilih untuk melakukan jalan damai yang ditawarkan tersebut, sedangkan Polisi akan berjingkrak kesenangan dalam hati karena umpannya berhasil dimakan. Tindakan-tindakan yang seperti inilah yang membuat kepercayaan masyarakat terhadap Polisi (Polisi Lalu Lintas) ini lemah.
Jika demikian sudah sepantasnya juga Undang-undang lalu lintas itu mengatur kemungkinan-kemungkinan penyalahgunaan dalam penilangan yang dilakukan oleh Polisi, bukan hanya menitik beratkan pada kesalahan pengendara saja. Dengan adanya pengaturan tentang penyalahgunaan penilangan yang dilakukan Polisi dapat memungkinkan Polisi tersebut justru juga takut untuk melakukannya, apalagi jika pengaturan tersebut mengandung sanksi denda yang lebih besar jumlahnya daripada sanksi denda yang diberlakukan untuk pengendara. Dengan begitu Polisi juga akan berfikir dua kali untuk melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi aturan dalam penilangan tersebut karena beranggapan untuk apa menawarkan uang damai jika bila kedapatan justru akan lebih rugi. Dengan keseimbangan pengaturan tersebut, baik pengendara maupun Polisi akan lebih mentaati Undang-undang tersebut atas dasar pertimbangan untung dan rugi, sehingga berdampak pada efektifitas Undang-undang tersebut dan tentunya praktek-praktek peradilan ditempat dapat diminimalisir serta efek jera yang dimaksudkan kepada pelanggar lalu lintas dapat berimplikasi pada penurunan angka pelanggaran lalu lintas di Indonesia.
Labels: my opinion
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home